Asal-usul desa Patemon erat kaitannya dengan kisah CILI PATI ULARAN selaku Panglima Pasukan Dulang mangap (panglima perang). Dalam kisah perjalanan Cili Pati Ularan diiringi ± 250 pengiring, dengan tujuan Den bukit (Buleleng) melalui wilayah Tabanan, Tamblingan, Gobleg dan atas pawisik beliau menuju Gedang Janur/ Busung Biu. Cili Pati Ularan mempunyai beberapa putra dan seorang putrid, diantaranya yang erat kaitannya dengan sejarah desa Patemon adalah Dewa Ngurah Tebu Salah.
Dewa Ngurah Tabusalah yang telah menginjak dewasa perlu mencari jodoh. Ayahanda Cili Pati Ularan memerintahkan pengiringnya Gede Mariada (Warga Pasek Wanegiri/Toh Jiwa) supaya mengiringi Dewa Ngurah menuju tanah Bantara dan tanah Selaka.
Di tanah Bantara inilah Dewa Ngurah menemukan gadis cantik setelah diselidiki ternyata gadis tersebut adalah seorang putrid kesayangan Ngurah Dangin (Keturunan Dalem Purana) Dewa Ngurah ingin mempersunting putrid ngurah dangin yang bernama Ayu Aliarni. Karena Ayu Aliarni putrid kesayangan agak sulit mempersuntingnya, sehingga hamper timbul perkelahian.
Ngurah Dangin curiga, siapa Gerang pemuda yang ingin memopersunting putrid Dewa Ayu Aliarni. Kemudian bertemulah Dalem purana dengan Dewa Ngurah, disinilah beliau mengetahui bahwa dewa ngurah adalah putra Cili Pati Ularan yang dikatakan masih ada hubungan kekeluargaan. Pejodohan diterima dengan syarat Dewa Ngurah tinggal di tanah Bantaran dan diberi tempat di Puri Gede serta menetap disini.
Setelah Dewa Ngurah menetap di Puri Gede Beliau dipercaya sevbagai pemimpin/manggala yang diabih oleh keluarga pasek Sibang dan Ngurah Dangin. Untuk membangun desa yang sesuai dengan tata titi falsafah desa yang baik, melindungi, mensejahterakan rakyat agar tata tentram Kertha raharja gemah ripah loh jinawi.
Mulailah diperhatikan keadaan warga yang ternyata terdiri dari bekas pengiring Cili Pati Ularan yang kesah dari gelgel, bertemu serta bermukim sama-sama asal perantauan, diantaranya.
Pasek Sibang (Arya Sentong)
Arya Pacung (Arya Sentong)
Keluarga Tegeh Kori
Gerih
Wisnawa Bujangga
Blambangan
Arya Mandala
Keluarga Pungakan
Bendesa
Ketewel
Setelah semuanya kumpul lalu diadakan perumaan yang dipimpin oleh Dewa Ngurah, membicarakan mengenai nama desa, karena masih merupakan pondok, kelempung, banjuran dan banjar. Adapun usulan dan dharma tetimbang yang diketengahkan dalam peruman tersebut secara garis besar sebagai berikut :
Warga ternyata berasal dari pertemuan warga asal perantauan yang senasib dari Gelgel diantaranya juga dari keturunan keluarga pengiring Cili Pati Ularan
Tempat yang dihuni dikelilingi oleh aliran tukad Sabha artinya pertemuan atau kumpulan tukad. Berdasarkan kenyataan tersebut disepakati secara bulat mufakat agar diberi nama Patemon (Pa-temu-an), menjadi Patemon
Dengan nama Patemo supaya dijadikan rujukan di dalam membentuk pimpinan desa sesuai dengan aspirasi masyarakat melalui hasil kesepakatan dalam sangkepan, demi tegaknya wibawa pimpinan dalam melaksanakan tugas.
Pada waktu pertemuan tersebut baru ada beberapa banjar antara lain:
Banjar Jeroan
Banjar Sibang
Banjar Belong
Banjar Kawan
Banjar Uma
Banjar Sema
Banjar Paneraga
Di dalam desa belum ada peranda oleh karena itu mengambil peranda ke Desa Kayu Putih, ditempatkan di Banjar Jeroan, kemudian pindah raga ke Peneraga yang kemudian menadi banjar Gerya Paneraga.
Kemudian datang lagi warga pande, di tempatkan paling barat desa dan banjar ini diberi nama Banjar Beratan. Demikian seterusnya sesuai dengan dinamika masyarakat banjar lainnya terus dibentuk seperti: Banjar Apit Yeh, Banjar Tegal dan Banjar Pemaroan, sehingga yang kita jumpai saat ini desa Patemon terdiri dari 12 Banjar.
Pada abad ke XVI, waktu pengadegan Pandji Sakti sebagai Mahapatih saat itu adalah I Gusti Murtamblang Sampun (Tos Ularan). Mulai saat itu timbul istilah Singaraja (Buleleng) dengan lambing singa terbang atau singa ambara raja. Sedangkan sebagai pendamping kekuasaan Pandji Sakti ialah:
Desa Bondalem, dengan istilah Singa Mandala
Desa Banjar, dengan istilah Singa Sura
Desa Patemon, dengan istilah Singa Purusa
Desa Lokapaksa, dengan istilah Singa Manda
Disamping itu, mulai memperbaiki dan membangun parhayangan, seperti khayangan desa, merajan, panti, dadya, kawitan, sesuai dengan petunjuk para leluhur warga maupun kesepakatan semua warga. Berbagai prahaynagan tersebut antara lain:
Pura Siwa Durga/Catur Dewi (Gedong Cungkup) terletak sebelah Timur dari pusat desa (lambing putih) diempon oleh siwa buda Ketewel
Pura Desa /Puseh (Brahma) disebelah Selatan dari Pura Desa (Lambag Merah). Padmasana Naga Pasa diempon oleh Sang Brahmana. Seperti diuraikan di depan, di dalam paruman / pertemuan tersebut hanya kurang pendeta di Desa Kayu Putih dan ditegakan sebagai Brahmana untuk mengempon Dewa Brahma.
Pura Maha Dewa sebelah Barat dari Pusat Desa. Purwa Padmasana Dua Naga Pasa diempon oleh Pande Maha Samaya.
Pura Wisnu meru tumpang lima diempon Bujangga Wesnawa
Pura Sang Hyang Iswara dan kulkul pangkatan diempon oleh Santana Ularan. Letaknya di tengah desa pusat pemerintahan dan ekonomi.
Pura Gede, Setelah berhasil dalam perang payangan (menang) kemudian dibangunlah Murda Manik dengan 13 saka sebagai pura momen (kaul para pemimpin). Berdasarkan penuturan beberapa tokoh masyarakat dahulu pura gede disungsung sebagai pura puseh. Sampai saat ini Pura Desa, pura Dalem, pura gede menjadi khayangan tiga. Kemudian Puseh dan Desa tempatnya disatukan di Pura Desa yang kita jumpai saat ini.
Pura Patih kaempon oleh keluarga Belambangan
(Sumber)
Tidak ada komentar: